• home
Home » , » Harga BBM Tergantung Kondisi Selat Hormuz

Harga BBM Tergantung Kondisi Selat Hormuz

JAKARTA - Kebijakan harga BBM tahun ini akan sangat bergantung pada situasi di Selat Hormuz. Jika ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran tersebut tak kunjung mereda, harga minyak mentah Indonesia (ICP) akan berada di posisi stabil-tinggi seperti saat ini. Kondisi ini bisa memberi ruang bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM.

"Kalau konflik Iran dengan negara-negara barat makin buruk, harga internasional untuk ICP dapat merangkak naik. Sehingga untuk (syarat deviasi) ICP di atas 15 persen akan terpenuhi," kata pengamat perminyakan Kurtubi kemarin.

Seperti diberitakan, Rapat Paripurna DPR akhirnya memberikan syarat ketat bagi pemerintah untuk menaikkan harga BBM. Perubahan harga BBM baru bisa dilakukan jika harga ICP rata-rata enam bulan terakhir mengalami deviasi atau meleset 15 persen dari asumsi di APBN Perubahan sebesar USD 105 per barel. 

Sebenarnya, harga aktual ICP sepanjang Maret sudah menembus USD 128 per barel, atau jauh melewati batas syarat deviasi USD 120,75 per barel. Namun, karena harga yang diacu adalah rata-rata enam bulan terakhir, harga rata-ratanya baru mencapai USD 116,5 per barel atau baru mengalami deviasi 11 persen dari asumsi.

Namun, jika pada April hingga Juni ini harga ICP bisa tetap berada di atas USD 120 per barel, setidaknya pada pertengahan tahun ini pemerintah sudah berwenang menaikkan harga BBM. Harga ICP sepanjang enam bulan terakhir memang menunjukkan tren kenaikan. Pada Oktober 2011, harganya mencapai USD 109,25 per barel, November USD 112,94, dan Desember USD 110,70. Kemudian pada Januari 2012 mencapai USD 115,90 per barel, Februari USD 122,17, dan Maret sekitar USD 128 per barel. Harga ICP selalu lebih tinggi dibandingkan harga WTI (West Texas Intermediate) dan minyak mentah London alias Brent. 

Kurtubi menambahkan, dengan harga BBM yang masih cukup murah, kuota dalam APBNP sebesar 40 miliar liter pasti akan terlewati. "Pemerintah tidak bisa melarang untuk jangan membeli bensin," kata Kurtubi. 

Ekonom Mirza Adityaswara mengatakan tertundanya kenaikan harga BBM dari rencana semula 1 April akan menimbulkan sejumlah dampak buruk. Harga-harga kebutuhan pokok sudah telanjur naik karena antisipasi psikologis. Padahal, alokasi subsidi khusus untuk rakyat miskin tidak jadi dibagikan. "Subsidi energi terus meninggi, tapi harga sudah kadung naik," kata Mirza.

Secara fiskal, menurut Mirza, pemerintah membutuhkan utang yang lebih banyak untuk menutup subsidi. Dengan harga murah, konsumsi BBM akan terus melambung sehingga impor komoditas terbatas tersebut akan terus meningkat. "Para broker impor minyak tersenyum, sehingga energi non BBM seperti panas bumi, batu bara, angin, dan air tidak bisa berkembang," sesal Mirza.

Mirza pesimistis pemerintah akan berani menaikkan harga BBM meskipun nantinya syarat akan terpenuhi. "Pemerintah sudah tidak berani menaikkan harga BBM karena politikus dan DPR akan kembali menentang," katanya.

Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Bambang P. S Brodjonegoro mengatakan keputusan DPR akan membawa konsekuensi pada bertambahnya risiko fiskal. "Subsidi mungkin melebihi (alokasi), tapi masih bisa (dikelola). Tapi intinya kita lebih hati-hati," kata Bambang.      

Mantan Dekan Fakultas Ekonomi UI ini menambahkan, besaran subsidi yang akan dibayarkan juga bakal bergantung volume yang dikonsumsi. "Ya tentunya kalau selisih harga semakin jauh, tandanya volumenya semakin naik," kata Bambang.

Dalam APBNP 2012, dengan asumsi ada kenaikan harga BBM 1 April, subsidi BBM dianggarkan Rp 137,379 trilun, listrik Rp 64,973 triliun, dan cadangan risiko energi Rp 23 triliun. Dalam APBNP 2012, juga sudah telanjur disepakati anggaran kompensasi perubahan subsidi Rp 30,6 triliun. Anggaran itu mestinya digunakan Bantuan Langsung Sementara Masyarakat Rp 17,088 trilun untuk 18,5 rumah tangga dengan alokasi Rp 150 ribu selama enam bulan.

Anggaran kompensasi juga dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur pedesaaan sebesar Rp 7,883  trilun, dengan  cakupan 28.300 desa dengan alokasi masing-masing Rp 250 juta perdesa. Ada pula tambahan anggaran untuk program keluarga harapan Rp 591,5 miliar. Juga, ada insentif bagi angkutan umum dialokasikan Rp 5 trilun.

Dengan tertundanya kenaikan harga BBM, anggaran tersebut tidak bisa direalisasikan.  Bambang mengatakan, anggaran itu tidak bisa didrop karena sudah dianggarkan. "Ya nanti kita simpan dulu," kata Bambang.

Dia mengatakan, ke depan, pemerintah dan DPR harus lebih berhati-hati dalam menyusun undang-undang. "Supaya jangan ada pasal-pasal yang membuat pemerintah kesulitan membuat kebijakan. Padahal, ada potensi bahaya terjadi," kata Bambang.

Sebenarnya, dalam APBN 2008, 2009, 2010, dan 2011, pemerintah selalu diberi pasal diskresi atau keleluasaan menaikkan harga BBM. Dalam APBN di tahun-tahun itu, pemerintah bisa menaikkan atau menurunkan harga BBM jika terjadi deviasi harga ICP sebesar 10 persen. Inilah mengapa, pada 2008 dan 2009, pemerintah bisa lebih bebas menaikkan dan menurunkan harga.

Pada 2011, pemerintah sudah didesak oleh sebagian kalangan, bahkan juga dari parlemen, untuk menaikkan harga BBM. Sebab mulai Januari hingga Desember tahun lalu, harga ICP sudah jauh meleset lebih dari 10 persen dari asumsi. Namun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak berani memanfaatkan diskresi tersebut. 

Akhirnya dalam pembahasan APBN 2012 di Badan Anggaran, justru muncul pasal 7 ayat 6, yang menegaskan bahwa harga eceran BBM sepanjang tahun ini tidak naik. Pasal ini muncul untuk memberikan dorongan kepada pemerintah agar lebih serius untuk melakukan kebijakan pembatasan konsumsi BBM. Namun, program pembatasan tersebut tetap tidak bisa dilaksanakan. Sehingga, pemerintah menginginkan wewenangnya menaikkan harga BBM dikembalikan dalam APBNP 2012.


sumber

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.